Mencari Indonesia ( Disunting dari Harian Lampung Post tanggal 6 Juni 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT)

DALAM sebuah diskusi ringan seorang tokoh  bertanya, " Adakah sesuatu yang membanggakan dari Indonesia?" Beberapa orang ( ada beberapa politisi senayan, pengacara beken, rektor sebuah universitas, dan beberapa wartawan senior ) yang mengelilingi sang tokoh itu, tak satupun menjawabnya. Ia mengulang lagi pertanyaannya, " Adakah  yang membanggakan dari negeri besar ini?" Meski agak malas, saya menjawabnya. " Rakyat itulah  yang membanggakan.
     Tokoh itu diam sebentar dan minta penjelasan jawaban saya. " Bagaimana tidak hebat, dengan pengangguran begitu tinggi, dengan sekitar 35 juta penduduk miskin, dengan pelayanan birokrasi amat buruk, tapi mereka masih patuh pada negara. Keindonesiaan mereka tak luntur. Mereka tetap membayar pajak. Kesabaran Rakyat Indonesia itu luar biasa. Coba kalau pengangguran begitu tinggi terjadi di Eropa, pasti negeri itu guncang!.
    Tokoh itu tak terlalu puas dengan jawaban saya. Tapi, juga tak menolaknya. Saya"menembak"lagi. " Di negara yang masih paternalistik ini tugas pemimpin sesungguhnya tak terlalu berat. Cukup memberi contoh secara konsisten dan sungguh-sungguh, tanpa banyak cingcong, rakyat akan mendukung dan mengikutinya."
     Sang tokoh masih tak puas, Ia geram dengan Indonesia yang bukan menuju proses"menjadi" melainkan "memudar". Dan, soal negeri yang meluruh, memang menjadi omongan publik hampir setiap hari. Simposium Nasional Restorasi Indonesia, yangdigelar di Jakarta selama dua hari ( 1-2 Juni), hanyalah peneguhan dari keprihatinan yang telah membuncah. Para pembicara,orang-orang ternama itu, "menggugat" Indonesia yang telah bersimpang jalan. Indonesia yang telah kehilangan sukma. Mereka berupaya"menemukan kembali"Indonesia yang hilang itu.
     Undang-undang Dasar 1945 yang mulia, yang mengamanatkan ekonomi kerakyatan dan negara mengurus orang-orang miskin dan anak terlantar, jadi omong kosong. Negara sangat tidak berpihak pada orang-orang kecil. Negara sangat berpihak pada pemilik modal dan orang-orang kaya. Negara sungguh amat Zolim kepada orang-orang kecil. Orang-orang miskin seperti dibiarkan termarjinalkan. Ada upaya dengan  sengaja dari Negara untuk melupakan keagungan  Pancasila yang digali  dari kearifan nusantara. Sebab, nilai-nilai ini tak menghendaki para pemilik modal dan penguasa menumpuk  harta sebanyak-banyaknya, tanpa berbagi kepada yang miskin. Periksalah pundi-pundi para politisi kita. Ada yang baru beberapa tahun menjadi pejabat negara,kekayaannya menggelembung jadi berpuluh-puluh milyar rupiah.
     Keagungan Indonesia memang seperti tengah "dipreteli" satu per satu. Justru oleh para penyelenggara negara, yang notabene disumpah-juga dibayar negara-untuk menjaga Indonesia. Indonesia yang sakit ini tak kunjung ada  upaya untuk menyembuhkannya.
     MARI kita lihat lagi "pusaka"kita yang sengaja dicampakkan. Salah satunya Trisakti,tiga butir ajaran bung Karno, yang mestinya jadi pegangan hari ini, yakni berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Politik kita kian keruh dan banal. Ekonomi kita sangat tergantung pada asing.
    Kepribadiankita juga nyaris compang-camping. Kita menjadi bangsa yang mudah meniru. Kita bangsa yang sudah lama mengalami  senomania dan menderita kompleks inverioritas.
     Kegandrungan pada asing sudah sangat keterlaluan karena tak paham keunggulan diri sendiri. Tak ada kodifikasi sejarah pemikiran dan benda budaya dari seluruh nusantara. Museum-museum kita umumnya miskin koleksi dan merana.
     Kita baru teriak setelah bangsa lain berupaya mengambilnya. Kita hanya teriak tetapi tak memeliharanya. Indonesia dengan berkah keragaman kultur dan hayati, dibiarkan tak terurus. Ia belum dimaksimalkan sebagai sumber penciptaan ekonomi kreatif yang menjadi tren global. Kekayaan batik baru-baru ini saja menjadi kesadaran barsama ( dipakai setiap jumat di berbagai instansi) setelah UNESCO menjadikannya warisan dunia. Dalam soal busana, Malaysia malah lebih "berkepribadian" daripada kita, yang terkesan"suka-suka".
     Benarkah Indonesia telah'hilang'? Banyak orang bilang Indonesia  tengah dihancurkan, dipisahkan dari roh dan kepribadian yang  sesungguhnya. Indonesia hari ini seperti Indonesia  yang berbeda, yang bergerak tanpa arah, yang tercerabut dari akarnya.
     "Para pengambil keputusanpun terus membuat kebijakan publik tanpa mempertimbangkan karakteristik sosial-ekologis-geografis Nusantara, sehingga terjadi krisis sosial-ekologis. Kaum intelektual terus mengimpor mentah-mentah pengetahuan dari utara untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, tanpa menyesuaikannya dengan karakteristik Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan ," kata Budiman Sudjatmiko pada simposium itu.
     Indonesia dengan birokrasi terburuk di Asia, dengan pendidikan yang amburadul dan mencekik,yang tak menjadikan kejujuran sebagai nilai utama, diperparah dengan guru-guru yang tidak mengasah diri agar bisa memberi motivasi. Para pakar pendidikan yang pernah ikut  memberikan sumbangsih pemikiran , seperti Conny R.Semiawan dan Soediarto, bingung dengan dunia edukasi hari ini. Pendidik sudah sangat kehilangan  orientasi dan guru-guru tak lagi menjadi sumber inspirasi.
     Saya tak akan menyalahkan reformasi yang telah memakan banyak korban.Reformasi tak terelakkan karena rezim orde baru memang sudah amat busuk dan tak mungkin dibiarkan. Saya kecewa karena reformasi telah dibajak oleh pengambil keuntungan, yang menurut pembicara lain dalam simposium itu, Syafi'iMaarif, bermental lele. " Semakin keruh, semakin banyak makannya"
     Inilah "era sampah" Sebuah era yang tak bisa dihindari. Sesuatu yang kerap terjadi  selama beberapa tahun setelah rezim otoriter tumbang. Pertanyaannya, sampai kapan era sampah yang busuk ini selesai? Adakah kita cukup sabar dan punya energi menanti era yang lebih berpengharapan? Kita harus menguat-nguatkan diri.****

Ani ( Disunting dari harian"lampung post" tanggal 9 Mei 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT

" HIDUP bukan untuk berbuat,melainkan untuk menyelesaikan segala sesuatu," kata Aristoteles. Tetapi, ada banyak orang " tidak berbuat" dan " tidak menyelesaikan" segala sesuatu. Bahkan, ada pula yang " tidak berbuat", tetapi lebih banyak " menghancurkan" segala sesuatu.
     Substansi ucapan Aristoteles sesungguhnya bermakna, hidup tak cukup hanya berbuat, tetapi harus punya orientasi untuk memberi solusi. Sungguh sebuah dunia ideal jika  semua orang berkhidmat sesuai ucapan sang filsuf itu. Padahal sesungguhnya , manusia memang punya dua ekstrim : potensi konstruktif dan potensi destruktif.
     Dalam idealisasi Aristoteles, di manakah tempat Sri Mulyani Idrawati ? Orang yang hanya berbuat ? Atau berbuat dan memberi solusi ? Saya berkeyakinan Ani, demikian Sri akrab disapa, ada ditempat ini : berbuat untuk memberi solusi.
     Mari kita lihat laku konkritnya. Dengan penuh keberanian Ani melakukan reformasi birokrasi di kementeriannya. Dengan penuh keberanian pula sebagai menteri keuangan, ia menolak menghentikan perdagangan saham di bursa ketika saham-saham milik grup Bakrie menurun tajam pada 2008 --ketika itu Aburizal Bakrie adalah Menko Kesra. Ani juga mencekal sejumlah ekskutif group Bakrie karena menunggak royalti batu bara dengan nilai trilyunan rupiah. Inilah sebuah solusi. Solusi agar negeri ini terbebas dari tata kelola pemerintahan yang buruk, yang pernah menenggelamkan  negeri ini.
    Perseteruan Ani dengan Bakrie memang menjadi konflik terbuka. Secara terbuka pula Ani mengatakan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Century, yang dimotori Partai Golkar, adalah untuk membidik dirinya. Inilah dendam Aburizal Bakrie pad Ani. Dendam karena Ani tak bisa diajak kompromi. Dan, motif sakit hati itu, agaknya, kini mulai terkuak.
     Pertama, ada indikasi golkar bakal memetieskan kasus Century. Kedua, dibentuknya sekretariat bersama partai koalisi dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua dan Aburizal sebagai ketua pelaksana. Ini adalah pertanda yang terang benderang; dilakukan hanya beberapa hari  setelah Ani mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri keuangan dan Yudhoyono menyetujuinya. Ani menerima pinangan Presiden Bank Dunia  Robert Zoellick untuk menduduki posisi direktur pelaksana di lembaga keuangan dunia itu. Ia akan berkantor di Washington DC, Amerika Serikat, mulai 1 Juni  nanti.
     Ada nada sorak sorai kemenangan Golkar atas pengunduran diri Ani. Mungkin pula ada rasa puas Aburizal karana di kabinet tak ada lagi sosok yang bakal mengganggu kepentingannya. Jika ini benar, Golkar kembali kepada "khitahnya" sebagai partai lama,bukan partai reformis. Sesering apapun orang-orang Golkar mengatakan "Golkar hari ini adalah Golkar baru", hanyalah kata tanpa makna.
                                                                        ***
    JIKA saya ditanya tetap bertahan sebagai menteri atau pergi ke Bank Dunia untuk seorang Ani, saya memilihnya tetap menjadi menteri seraya menghadapi dengan gagah proses hukum kasus Century. Tetapi,  saya juga memuji pilihan Ani duduk sebagai orang kedua di lembaga keuangan dunia dan bertanggung jawab terhadap 74 negara. Atau, jangan-jangan Ani akan tetap bertahan di kabinet jika Yudhoyono memang tak melepasnya?
     Adalah manusiawi jika Ani memutuskan pergi karena jiwanya terluka. Terluka karena profesionalitasnya sebagai ekonom kelas dunia dilecehkan di negerinya sendiri. Ia pergi dengan membawa  spirit untuk  membuktikan siapa dirinya. Bukankah jiwa-jiwa kita yang inferior baru percaya jika label" luar negeri" yang berbicara ?
     Ani, apapun  rekomendasi Pansus Bank Century, adalah sosok dengan takdirnya yang "berbeda" dari umumnya kita. Ia cemerlang. Punya prinsip, berintegritas, cerdas,, bernyali tinggi, dan tegas. Kepercayaan dirinya di atas rata-rata orang Indonesia. Wajar jika di dalam negeri reputasinya hampir tak tertandingi. Tetapi justru itu, sejak ia masuk kabinet Yudhoyono, terus dicurigai.
     Latar belakangnya yang pernah menjabat Direktur Eksekutif IMF, mewakili 12 negara Asia Tenggara, menjadi prasangka yang terus diembuskan  sebagai pejabat yang akan membawa kepentingan  lembaga keuangan dunia dengan paham neolib itu. Yakni meniadakan peran negara untuk macam-macam urusan. Neolib pun menjadi cap yang tak pernah berhenti dialamatkan kepada doktor ekonomi lulusan University of Illinois-Champaign, Amerika itu.
     Telah berkali-kali Ani menjelaskan ia seorang nasionalis. Seorang  yang mengabdi untuk negerinya. Seorang putri pendidik yang paham apa makna spirit kebangsaan. "Ketika saya di IMF justru kesempatan menjelaskan  posisi Indonesia. Tapi, tanpa bekal memadai, ini tak mungkin didengar," kata Ani dalam sebuah forum di Jakarta pada 2006. Sebuah penjelasan untuk ke sekian kalinya.
     Tetapi, prasangka telah menjadi senjata yang terpelihara dan siap dibidikkan  kapan saja sesuai "kebutuhan". Dan, prasangka yang dikelola sebagai  senjata politik kini  makin tercium jejaknya. Hak Angket Century, jika benar bakal dipetieskan rekomendasinya, sungguh sebuah dusta dengan bungkus politik yang teragenda. Artinya, Sri Mulyani dan Boediono memang target politik pihak-pihak yang tak suka.
     Ani, kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 26 Agustus 1962, harus kita akui ini memang menteri keuangan "plus". Plus bukan hanya punya reputasi internasional, melainkan dalam kabinet Yudhoyono, ia menteri  yang bisa bilang "tidak" kepada Presiden. Ia melawan Aburizal, bukan karena ia merasa "jagoan", melainkan karena ia menilai Aburizal tak mendukung tekad menciptakan pemerintahan yang bersih.
     Ani, tak ada orang besar dengan ujian-ujian kecil. Hujatan para politisi di Senayan, mungkin hanya ujian kecil. Saya percaya, Anda bisa "berbuat" dan "memberi solusi" bagi bangsanay, di mana pun. Sebab, semangat Tanah Air sesungguhnya tak harus dengan kaki berjejak di bumi sendiri.***

Mereka yang Dikalahkan ( Di sunting dari Harian Lampung Post 2 Mei 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT

Kami bukan pembina candi
Kami hanya pengangkut batu
Kamilah angkatan yang mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas kuburan kami lebih sempurna
***
SEBAIT sajak karya penyair Henriette Roland Host seolah menjadi 'mantra'bagi para laskar rakyat, dulu. Sajak inilah yang tersimpan salam saku jenazah Subianto, penjuang muda , adik begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, yang gugur bersama 29 laskar muda lainnya pada peristiwa 15 Januari 1946, di Serpong, Tangerang. Inilah pertempuran penuh dendam dan harga diri dengan tentara Jepang yang belum sudi meninggalkan Indonesia, meskipun kami telah merdeka.
Subiyanto dan anak-anak muda yang mengagumkan itu, belumlah masuk fase angkatan yang mesti musnah dan digantikan " angkatan baru". Tetapi, para pejuang muda itu paham kematian bukanlah sesuatu yang mahal untuk sebuah martabat bangsa bernama kemerdekaan. Para syuhada memang kerap merasa "lebih sempurna" dalam makam yang tenang, mungkin kini hanya menjadi cerita para tetua, atau olok-olok belaka.
Martabat bangsa ( human dignity) dan keadilan sosial ( social justice) itulah petuah para empu kearifan (filsuf)  yang menjadi api dan kemudian  membakar rakyat di banyak negeri  untuk mengusir penjajah. Salah satu empu kearifan itu adalah Andre Malraux, filsuf Prancis yang mempesona banyak intelektual Indonesia, salah satunya Sumitro Djojohadikusumo. Pak cum, demikian Sumitro akrab dipanggil, menceritakan ini  pada kami dalam wawancara untuk sebuah buku beberapa tahun sebeum ia wafat. ( Selengkapnya baca buku Jejak perlawanan begawan Pejuang Sumitro Djojohadikusumo,2010). Pikiran Malraux yang menyihir para intelektual dan dikristalkan para nasionalis menjadi " provokasi" yang penuh gelora bagi para pejuang kita.
    Pesona pada Malraux memang menjadi penuh karena  ia tak semata berkhotbah tentang sesuatu yang mengambang. Ia melakukan sesuatu yang berjejak pada bumi yang tengah bergolak. Ia memimpin eskadron angkatan udara yang tangguh dalam perang  Spanyol ( 1936 - 1939 ) dan pasukan bawah tanah melawan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Malraux memang menjadi sosok yang komplit. Serdadu yang berani dan filsuf yang disegani. ( Meski pada Albert Camus dan Sartre tentu punya pesonanya sendiri ).
    Sungguh jelas, tak ada yang putus antara masa silam dan hari ini, kecuali berganti manusia dalam mengelola negara. Tetapi, soal penjuangan untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia, harus terus menjadi prinsip utama negara. Sebuah kemerdekaan tanpa dua prinsip itu, ia akan menjadi omong kosong. Ia akan menjadi negeri yang rapuh.
    Itulah Indonesia hari ini. karena keadilan sosial dan martabat manusia hanya menjadi "alat" dan bukan tekad. Ia seolah diperebotkan tetapi tak dilaksanakan. Ia menjadi prinsip yang teralineasi di hampir seluruh aspek pembangunan kita, sejak lama. Soekarno, Soeharto, dan pemerintahan sesudahnya, justru terlihat  gagap dan kian tak paham kemana arah pengelolaan negara. Sebab, keterbukaan  hanya membawa orang sibuk berkata-kata,tapi tak sampai pada realisasi yang hakiki.
                                                                               ***
SAYA kerap tak sanggup secara mental menyaksikan amuk masa dan konflik sosial bertubi-tubi. Ambilah amuk masa terakhir: amuk priok dan kerusuhan batam. Sungguh amat jelas di sana ada  keadilan dan martabat  manusia yang dipinggirkan.
    Kerusuhan Koja, Priok, jelas ada arogansi negara. Betapa sebuah makam sosok yang dihormati sebagian masyarakat,Mbah Priok, justru hendak digusur untuk perluasan PT Pelabuhan Indonesia ( Pelindo ) II yang nota bene milik negara. Pelindo jadi tampak angkuh dan seolah bisa melakukan untuk menerapkan prinsip kapitalisme: memperoleh laba sebanyak-banyaknya, sayang dengan cara apa saja. Padahal,  tugas negara tak semata mencari laba dengan  mengorbankan hak-hak warganya. Tak ada keadilan di situ!. Sementara itu , kerusuhan  di Batam  yang melibatkan ribuan pekerja galangan kapal PT Drydocks World Graha, adalah bukti, lagi-lagi, buruknya kinerja negara. Ia ironi  yang luar biasa, betapa para pekerja dihina dan dikalahkan justru di negeri sendiri.
     Saya tak menyaksikan amuk masa. Tetapi, lihatlah PT Drydocks, firma dengan sekitar 10 ribu karyawan, tapi hampir 80% dari mereka adalah outsourching, dan hanya 20% pekerja tetap. Outsourching kini memang menjadi tren, karena ia murah dan positioning mereka memang lemah. Tak hanya itu, para pekerja asing yang umumnya  dari India itu, tidak saja tak sepenuhnya punya ketrampilan  khusus, tetapi mereka ada yang kerap menghina pekerja kita.
    Adalah amanat konstitusi bahwa rekreutment pekerja asing hanyalah untuk pos-pos yang khusus, yang bangsa sendiri belum bisa melakukannya. Tetapi PT Drydocks melanggarnya sesuka-suka.Ada banyak tenaga kerja kita lebih terampil dari pekerja india. Tetapi tetap  dibayar dengan upah rendah. Di sini ada pembiaran negara, yakni Kementerian Tenaga Kerja. Dan , kita tahu, institusi ini memang punya reputasi tak sedap dalam melindungi pekerja sendiri. Kekuatan uang  kerap meruntuhkan apa pun kita punya aturan !
     Dalam dua contoh itu saja, ada dua khianat negara terhadap warganya sendiri. Pertama, tak melindungi warganya mendapatkan  keadilan. Kedua, menghina bangsa sendiri. Jika demikian realitanya, para pekerja India berani menghina pekerja kita justru  di negerinya sendiri, sungguh tak heran jika di luar negeri para pekerja kita terus menjadi pecundang.
     Negara mesti bertobat karena beberapa khianat terhadap raknyatnya. Jika tidak, jika keadilan dan martabat manusia tetap jadi omongan, negeri ini akan terus bergemuruh dalam berbagai ekspresi keresahan. Karena dua hal itu adalah hak dasar setiap manusia. Terlebih lagi manusia yang terhimpun dalam wadah bernama negara!***

HARI KARTINI

Pada hari ini Rabu tanggal 21 April 2010 adalah hari kartini yang rutin diperingati setiap tahun sekali. Tetapi di daerah saya Way Abung, Tulang Bawang Barat peringatan hari kartini dari waktu ke waktu, bukannya semakin meriah tetapi sebaliknya. Mungkin ini disebabkan karena Tulang Bawang Barat adalah DOB ( Daerah Otonomi Baru ) dimana anggaran untuk itu belum ada. Bagi saya bukan meriah tidaknya peringatan hari kartini itu, tetapi esensi dari peringataannya itu sendiri. Mengingatkan kepada kita, terutama kaum hawa, sudahkah kita mencontoh apa yang diteladankan oleh Ibu kita Kartini ??? Hari ini adalah hari untuk melakukan refleksi diri bagi kaum hawa dalam perannya sebagai :
1. Ibu rumah tangga
2. Ibu dari anak-anaknya
3. Istri dari suami ( GARWO = Sigaraning Nyowo )
4. Abdi Negara ( bagi yang berprofesi PNS, tentunya )
5. dan peran-peran positif lain
Kenapa kaum hawa harus melakukan refleksi diri ? Mengingat jumlah penduduk perempuan di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya dari waktu kewaktu lebih besar/banyak daripada jumlah penduduk laki-laki. Dengan perbedaan jumlah tersebut, apa dampaknya terhadap tata kehidupan bermasyarakat,bangsa dan negara ? Selain faktor jumlah penduduk perempuan yang lebih besar, faktor lain adalah faktor globalisasi disemua bidang, terutama bidang ekonomi, budaya,dan lain-lain yang tidak dapat kita bendung pengaruhnya terhadap tata kehidupan masyarakat kita.
Salah satu dampak dari dua faktor tersebut adalah terhadap status/peran wanita itu sendiri. Wanita tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, tetapi memiliki banyak peran seperti yang disebutkan di atas. Banyak wanita/ perempuan yang harus membantu suami mencari nafkah dalam berbagai profesi, karena tuntutan keadaan ekonomi bukan karena semata-mata emansipasi wanita. Di rumah seorang wanita/ibu harus menjadi guru bagi anak-anaknya. Diranjang seorang wanita/istri harus dapat memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan dirinya juga tentunya.... itulah tugas berat seorang wanita zaman sekarang.
Sekarang bagaimanakah kiat bagi wanita agar dapat memposisikan diri pada posisi terbaik dengan multi perannya tersebut??? Jangan lupa tuntunan dasar yang paling mendasar yaitu AGAMA dan norma-norma positif lain yang masih berlaku dari Zaman ke Zaman.
Bagaimana dengan peran kaum Adam atau laki-lakinya ????
Rasanya kurang pas untuk dibahas, karana selain tidak sesuai momentnya, di Indonesia belum dan tak pernah ada peringatan HARI KARTONO/ peringatan hari BAPAK/BAPAK !!!

Amuk Priok

( Harian Lampung Post: Minggu 18 April 2010 )

KETIKA massa menyimpan dendam dan kebencian, ia sebuah alamat destruksi. Bisa jadi ada kematian yang keji. Sebab, dalam dendam yang bergelora sering berkobar spirit menghabisi. Ia menutup seluruh elemen persamaan. Tak ada ruang lagi untuk pertemuan berbagai emosi bahwa kita bersama. Semuanya tiba-tiba jadi berbeda:konfrontatif dan bahkan saling menghabisi.

Kali ini bernama amuk Priuk. Kali lain mungkin amuk apa saja. Priuk pernah amat berdarah pada tahun 1984 ketika tentara membantai ratusan warga. Untuk ke sekian kalinya amuk serupa itu terjadi. Dan, dalam momen yang penuh purba sangka itu, saya melihat rasa puas yang meluap ketika dua gerombolan massa yang bertikai mampu menangkap"buruannya" yang lemah dan tak berdaya. Tak hanya melumpuhkan, tetapi menghabisinya dengan ganas. Ia lupa tentang ihwal cerita bahwa nyawa manusia amatlah berharga. Tak ada terlintas dalam pikirannya bahwa membakar fasilitas publik adalah merugikan diri sendiri.

Begitulah amuk priuk. Ia magma yang muncrat daru perut gunung berapi. Ia nyala api yang berkobar-kobar dan siap membakar siapa saja. Tiga orang polisi Pemerintah DKI Jakarta dijemput ajal dalam laku anarkistis yang brutal sepanjang rabu ( 13 - 4 ) itu. Ada ratusan orang terluka, beberapa diantaranya kritis. Puluhan kendaraan dibakar, aktivitas ekonomi jadi merugi. Kenapa itu semua terjadi ?

Tak pada tempatnya mengutuk Satuan Polisi Pamong Praja ( SatpolPP) yang tengah berduka kehilangan tiga nyawa anggotanya. Bahkan satu diantara mereka kerap berziarah ke makam Mbah Priuk. Tak elok juga menyumpah serapahi massa yang beringas membunuh dan membakar puluhan truk SatpolPP. Satpol PP dan massa yang "bertempur"di jalanan adalah sama-sama korban. Korban dari kebijakan pengelola negara ( dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta ) yang buruk, yang tak paham bagaimana mengelola masyarakat yang plural ini.

Makam Mbah Priuk adalah simbol kultural dan simbol religiositas. Sebagian publik menganggap ia punya efek magis dan psikologis. Keyakinan inilah menciptakan emosi komunal. Emosi membangun persepsi tertentu. Emosi adalah realitas batin atau " dunia dalam" yang sering tak tertangkap mata kita. Siapa yang pandai membaca dan paham realitas batin inilah yang mampu membimbing masyarakatnya. Jusuf Kalla, ketika di pemerintahan, adalah sedikit pejabat yang mampu membaca realitas ini.

Memaknai dengan tepat macam-macam simbol di masyarakat mestinya menjadi nilai keutamaan yang harus dipelajari para pengelola negara. Sebuah simbol penting yang menjadi sejarah sebuah tempat ternama, Mbah Priuk, nama populer Al Imam Al Arif Billah Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad,mestinya mendapat tempat istimewa.Juga makamnya.

Saya baru mendengar nama itu. Penyebar agama Islam dari abad 18 asal Palembang, Sumatera selatan, yang menjadi asal-usul lokus Tanjung Priuk pastilah bukan nama sembarangan. Sungguh aneh tokoh sepenting itu tak mendapat penghormatan sepantasnya dari Pemerintah Jakarta. Dimanapun hal-hal yang menyangkut asal-usul sebuah tempat, terlebih tempat ternama seperti Tanjung Priuk,legenda sekalipun, mestilah dimuliakan. Terlebih lagi ada jejak historisnya,makamnyapun ramai diziarahi.

KEKERASAN di era modern, kata Almarhum J.B. Mangunwijaya,sungguh akan membuat layu demokrasi. Dalam artikelnya Bila orang-orang Kita mengamuk, Mangun merujuk banyak contoh bentuk fasisme pribumi yang berulang. Sebab, katanya, bangsa yang berdiam di wilayah kepulauan ini belum pernah mengalami zaman pencerahan budi semacam Aufklaerung fase humanisme Renaisans Seperti di barat. Padahal inilah fase yang paling menentukan dalam proses modernisasi. Akibatnya,"...kita membangun negara dan masyarakat modern secara gegabah lewat jalan pintas alat-alat materi, tanpa memahami roh hakikat dan historisnya."

Serumit apapun, saya tetap menyimpan optimisme tentang negeri ini. Bukan karena Indonesia seperti ditulis geolog dan fisikawan Brasil, Prof.Arysio Santos ( Atlantis, 2010 ) ternyata tempat lahirnya peradaban dunia,melainkan bangsa ini selalu punya kemampuan untuk mengatasi persoalannya sendiri. Sayang, para elite justru kerap menjadi sumber destruksi,bukan inspirasi.

Setiap ada kekerasan komunal,kita selalu berharap ini yang terakhir. Seperti juga saya,sudah berkali-kali berpengharapan serupa itu. Sebab penyelesaiannya hanya realitas luar yang berjangka pendek. Adapun realitas batinnya kemudian diabaikan. Lihat saja, di Priuk,para pejabat sibuk berkunjung, berjanji,mengekspresikan rasa duka, tetapi biasanya, setelah itu, putus silaturahmi. Saya tak ingin mengatakan amuk priok sebagai pelajaran, tapi tragedi yang tak boleh terulang. Clifford Geer tz dalam Tafsir Kebudayaan dengan baik menjelaskan emosi yang merajut rangkaian makna dalam kebudayaan adalah kata kunci dalam memahami tindakan manusia. Makna dalam simbol-simbol kultural dan agama, jelas menyimpan emosi komunal yang dalam. Dengan begini kita - khususnya para elite- mesti paham dan mengerti kenapa masyarakat melakukan tindakan sosial tertentu.

Mbah Priuk adalah simbol kultural yang penting.Ia juga pancang historis sebuah bandar yang ramai. Pemerintah mestinya membangun tempat ini agar jadi elok dan bisa menjadi tujuan wisata agama dan budaya. oasis.Bahkan layak dibangun museum,MuseumTanjung Priuk. Tapi faktanya, sejak 12 tahun silam, situs itu justru berkali-kali hendak digusur.

Amuk Priuk adalah kegagalan para elite memaknai simbol-simbol itu. Amuk Priuk bukan problem yang jatuh dari langit. Ia amukulasi dari aneka persoalan yang panjang. Ekspresi dan realitas batin yang tertekan, terpinggirkan, dan tak berdaya; dan hari itu emosi ini berhimpun dalam energi yang penuh, menggelegak, dan apipun berkobar dalam sumbu yang pendek:amuk Priuk. ( Rubrik : REFLEKSI : DJADJAT SUDRAJAT )

Amuk Priok