Amuk Priok

( Harian Lampung Post: Minggu 18 April 2010 )

KETIKA massa menyimpan dendam dan kebencian, ia sebuah alamat destruksi. Bisa jadi ada kematian yang keji. Sebab, dalam dendam yang bergelora sering berkobar spirit menghabisi. Ia menutup seluruh elemen persamaan. Tak ada ruang lagi untuk pertemuan berbagai emosi bahwa kita bersama. Semuanya tiba-tiba jadi berbeda:konfrontatif dan bahkan saling menghabisi.

Kali ini bernama amuk Priuk. Kali lain mungkin amuk apa saja. Priuk pernah amat berdarah pada tahun 1984 ketika tentara membantai ratusan warga. Untuk ke sekian kalinya amuk serupa itu terjadi. Dan, dalam momen yang penuh purba sangka itu, saya melihat rasa puas yang meluap ketika dua gerombolan massa yang bertikai mampu menangkap"buruannya" yang lemah dan tak berdaya. Tak hanya melumpuhkan, tetapi menghabisinya dengan ganas. Ia lupa tentang ihwal cerita bahwa nyawa manusia amatlah berharga. Tak ada terlintas dalam pikirannya bahwa membakar fasilitas publik adalah merugikan diri sendiri.

Begitulah amuk priuk. Ia magma yang muncrat daru perut gunung berapi. Ia nyala api yang berkobar-kobar dan siap membakar siapa saja. Tiga orang polisi Pemerintah DKI Jakarta dijemput ajal dalam laku anarkistis yang brutal sepanjang rabu ( 13 - 4 ) itu. Ada ratusan orang terluka, beberapa diantaranya kritis. Puluhan kendaraan dibakar, aktivitas ekonomi jadi merugi. Kenapa itu semua terjadi ?

Tak pada tempatnya mengutuk Satuan Polisi Pamong Praja ( SatpolPP) yang tengah berduka kehilangan tiga nyawa anggotanya. Bahkan satu diantara mereka kerap berziarah ke makam Mbah Priuk. Tak elok juga menyumpah serapahi massa yang beringas membunuh dan membakar puluhan truk SatpolPP. Satpol PP dan massa yang "bertempur"di jalanan adalah sama-sama korban. Korban dari kebijakan pengelola negara ( dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta ) yang buruk, yang tak paham bagaimana mengelola masyarakat yang plural ini.

Makam Mbah Priuk adalah simbol kultural dan simbol religiositas. Sebagian publik menganggap ia punya efek magis dan psikologis. Keyakinan inilah menciptakan emosi komunal. Emosi membangun persepsi tertentu. Emosi adalah realitas batin atau " dunia dalam" yang sering tak tertangkap mata kita. Siapa yang pandai membaca dan paham realitas batin inilah yang mampu membimbing masyarakatnya. Jusuf Kalla, ketika di pemerintahan, adalah sedikit pejabat yang mampu membaca realitas ini.

Memaknai dengan tepat macam-macam simbol di masyarakat mestinya menjadi nilai keutamaan yang harus dipelajari para pengelola negara. Sebuah simbol penting yang menjadi sejarah sebuah tempat ternama, Mbah Priuk, nama populer Al Imam Al Arif Billah Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad,mestinya mendapat tempat istimewa.Juga makamnya.

Saya baru mendengar nama itu. Penyebar agama Islam dari abad 18 asal Palembang, Sumatera selatan, yang menjadi asal-usul lokus Tanjung Priuk pastilah bukan nama sembarangan. Sungguh aneh tokoh sepenting itu tak mendapat penghormatan sepantasnya dari Pemerintah Jakarta. Dimanapun hal-hal yang menyangkut asal-usul sebuah tempat, terlebih tempat ternama seperti Tanjung Priuk,legenda sekalipun, mestilah dimuliakan. Terlebih lagi ada jejak historisnya,makamnyapun ramai diziarahi.

KEKERASAN di era modern, kata Almarhum J.B. Mangunwijaya,sungguh akan membuat layu demokrasi. Dalam artikelnya Bila orang-orang Kita mengamuk, Mangun merujuk banyak contoh bentuk fasisme pribumi yang berulang. Sebab, katanya, bangsa yang berdiam di wilayah kepulauan ini belum pernah mengalami zaman pencerahan budi semacam Aufklaerung fase humanisme Renaisans Seperti di barat. Padahal inilah fase yang paling menentukan dalam proses modernisasi. Akibatnya,"...kita membangun negara dan masyarakat modern secara gegabah lewat jalan pintas alat-alat materi, tanpa memahami roh hakikat dan historisnya."

Serumit apapun, saya tetap menyimpan optimisme tentang negeri ini. Bukan karena Indonesia seperti ditulis geolog dan fisikawan Brasil, Prof.Arysio Santos ( Atlantis, 2010 ) ternyata tempat lahirnya peradaban dunia,melainkan bangsa ini selalu punya kemampuan untuk mengatasi persoalannya sendiri. Sayang, para elite justru kerap menjadi sumber destruksi,bukan inspirasi.

Setiap ada kekerasan komunal,kita selalu berharap ini yang terakhir. Seperti juga saya,sudah berkali-kali berpengharapan serupa itu. Sebab penyelesaiannya hanya realitas luar yang berjangka pendek. Adapun realitas batinnya kemudian diabaikan. Lihat saja, di Priuk,para pejabat sibuk berkunjung, berjanji,mengekspresikan rasa duka, tetapi biasanya, setelah itu, putus silaturahmi. Saya tak ingin mengatakan amuk priok sebagai pelajaran, tapi tragedi yang tak boleh terulang. Clifford Geer tz dalam Tafsir Kebudayaan dengan baik menjelaskan emosi yang merajut rangkaian makna dalam kebudayaan adalah kata kunci dalam memahami tindakan manusia. Makna dalam simbol-simbol kultural dan agama, jelas menyimpan emosi komunal yang dalam. Dengan begini kita - khususnya para elite- mesti paham dan mengerti kenapa masyarakat melakukan tindakan sosial tertentu.

Mbah Priuk adalah simbol kultural yang penting.Ia juga pancang historis sebuah bandar yang ramai. Pemerintah mestinya membangun tempat ini agar jadi elok dan bisa menjadi tujuan wisata agama dan budaya. oasis.Bahkan layak dibangun museum,MuseumTanjung Priuk. Tapi faktanya, sejak 12 tahun silam, situs itu justru berkali-kali hendak digusur.

Amuk Priuk adalah kegagalan para elite memaknai simbol-simbol itu. Amuk Priuk bukan problem yang jatuh dari langit. Ia amukulasi dari aneka persoalan yang panjang. Ekspresi dan realitas batin yang tertekan, terpinggirkan, dan tak berdaya; dan hari itu emosi ini berhimpun dalam energi yang penuh, menggelegak, dan apipun berkobar dalam sumbu yang pendek:amuk Priuk. ( Rubrik : REFLEKSI : DJADJAT SUDRAJAT )

0 Response to "Amuk Priok"

Posting Komentar

Kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari anda.