Ani ( Disunting dari harian"lampung post" tanggal 9 Mei 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT

" HIDUP bukan untuk berbuat,melainkan untuk menyelesaikan segala sesuatu," kata Aristoteles. Tetapi, ada banyak orang " tidak berbuat" dan " tidak menyelesaikan" segala sesuatu. Bahkan, ada pula yang " tidak berbuat", tetapi lebih banyak " menghancurkan" segala sesuatu.
     Substansi ucapan Aristoteles sesungguhnya bermakna, hidup tak cukup hanya berbuat, tetapi harus punya orientasi untuk memberi solusi. Sungguh sebuah dunia ideal jika  semua orang berkhidmat sesuai ucapan sang filsuf itu. Padahal sesungguhnya , manusia memang punya dua ekstrim : potensi konstruktif dan potensi destruktif.
     Dalam idealisasi Aristoteles, di manakah tempat Sri Mulyani Idrawati ? Orang yang hanya berbuat ? Atau berbuat dan memberi solusi ? Saya berkeyakinan Ani, demikian Sri akrab disapa, ada ditempat ini : berbuat untuk memberi solusi.
     Mari kita lihat laku konkritnya. Dengan penuh keberanian Ani melakukan reformasi birokrasi di kementeriannya. Dengan penuh keberanian pula sebagai menteri keuangan, ia menolak menghentikan perdagangan saham di bursa ketika saham-saham milik grup Bakrie menurun tajam pada 2008 --ketika itu Aburizal Bakrie adalah Menko Kesra. Ani juga mencekal sejumlah ekskutif group Bakrie karena menunggak royalti batu bara dengan nilai trilyunan rupiah. Inilah sebuah solusi. Solusi agar negeri ini terbebas dari tata kelola pemerintahan yang buruk, yang pernah menenggelamkan  negeri ini.
    Perseteruan Ani dengan Bakrie memang menjadi konflik terbuka. Secara terbuka pula Ani mengatakan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Century, yang dimotori Partai Golkar, adalah untuk membidik dirinya. Inilah dendam Aburizal Bakrie pad Ani. Dendam karena Ani tak bisa diajak kompromi. Dan, motif sakit hati itu, agaknya, kini mulai terkuak.
     Pertama, ada indikasi golkar bakal memetieskan kasus Century. Kedua, dibentuknya sekretariat bersama partai koalisi dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua dan Aburizal sebagai ketua pelaksana. Ini adalah pertanda yang terang benderang; dilakukan hanya beberapa hari  setelah Ani mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri keuangan dan Yudhoyono menyetujuinya. Ani menerima pinangan Presiden Bank Dunia  Robert Zoellick untuk menduduki posisi direktur pelaksana di lembaga keuangan dunia itu. Ia akan berkantor di Washington DC, Amerika Serikat, mulai 1 Juni  nanti.
     Ada nada sorak sorai kemenangan Golkar atas pengunduran diri Ani. Mungkin pula ada rasa puas Aburizal karana di kabinet tak ada lagi sosok yang bakal mengganggu kepentingannya. Jika ini benar, Golkar kembali kepada "khitahnya" sebagai partai lama,bukan partai reformis. Sesering apapun orang-orang Golkar mengatakan "Golkar hari ini adalah Golkar baru", hanyalah kata tanpa makna.
                                                                        ***
    JIKA saya ditanya tetap bertahan sebagai menteri atau pergi ke Bank Dunia untuk seorang Ani, saya memilihnya tetap menjadi menteri seraya menghadapi dengan gagah proses hukum kasus Century. Tetapi,  saya juga memuji pilihan Ani duduk sebagai orang kedua di lembaga keuangan dunia dan bertanggung jawab terhadap 74 negara. Atau, jangan-jangan Ani akan tetap bertahan di kabinet jika Yudhoyono memang tak melepasnya?
     Adalah manusiawi jika Ani memutuskan pergi karena jiwanya terluka. Terluka karena profesionalitasnya sebagai ekonom kelas dunia dilecehkan di negerinya sendiri. Ia pergi dengan membawa  spirit untuk  membuktikan siapa dirinya. Bukankah jiwa-jiwa kita yang inferior baru percaya jika label" luar negeri" yang berbicara ?
     Ani, apapun  rekomendasi Pansus Bank Century, adalah sosok dengan takdirnya yang "berbeda" dari umumnya kita. Ia cemerlang. Punya prinsip, berintegritas, cerdas,, bernyali tinggi, dan tegas. Kepercayaan dirinya di atas rata-rata orang Indonesia. Wajar jika di dalam negeri reputasinya hampir tak tertandingi. Tetapi justru itu, sejak ia masuk kabinet Yudhoyono, terus dicurigai.
     Latar belakangnya yang pernah menjabat Direktur Eksekutif IMF, mewakili 12 negara Asia Tenggara, menjadi prasangka yang terus diembuskan  sebagai pejabat yang akan membawa kepentingan  lembaga keuangan dunia dengan paham neolib itu. Yakni meniadakan peran negara untuk macam-macam urusan. Neolib pun menjadi cap yang tak pernah berhenti dialamatkan kepada doktor ekonomi lulusan University of Illinois-Champaign, Amerika itu.
     Telah berkali-kali Ani menjelaskan ia seorang nasionalis. Seorang  yang mengabdi untuk negerinya. Seorang putri pendidik yang paham apa makna spirit kebangsaan. "Ketika saya di IMF justru kesempatan menjelaskan  posisi Indonesia. Tapi, tanpa bekal memadai, ini tak mungkin didengar," kata Ani dalam sebuah forum di Jakarta pada 2006. Sebuah penjelasan untuk ke sekian kalinya.
     Tetapi, prasangka telah menjadi senjata yang terpelihara dan siap dibidikkan  kapan saja sesuai "kebutuhan". Dan, prasangka yang dikelola sebagai  senjata politik kini  makin tercium jejaknya. Hak Angket Century, jika benar bakal dipetieskan rekomendasinya, sungguh sebuah dusta dengan bungkus politik yang teragenda. Artinya, Sri Mulyani dan Boediono memang target politik pihak-pihak yang tak suka.
     Ani, kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 26 Agustus 1962, harus kita akui ini memang menteri keuangan "plus". Plus bukan hanya punya reputasi internasional, melainkan dalam kabinet Yudhoyono, ia menteri  yang bisa bilang "tidak" kepada Presiden. Ia melawan Aburizal, bukan karena ia merasa "jagoan", melainkan karena ia menilai Aburizal tak mendukung tekad menciptakan pemerintahan yang bersih.
     Ani, tak ada orang besar dengan ujian-ujian kecil. Hujatan para politisi di Senayan, mungkin hanya ujian kecil. Saya percaya, Anda bisa "berbuat" dan "memberi solusi" bagi bangsanay, di mana pun. Sebab, semangat Tanah Air sesungguhnya tak harus dengan kaki berjejak di bumi sendiri.***

Mereka yang Dikalahkan ( Di sunting dari Harian Lampung Post 2 Mei 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT

Kami bukan pembina candi
Kami hanya pengangkut batu
Kamilah angkatan yang mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas kuburan kami lebih sempurna
***
SEBAIT sajak karya penyair Henriette Roland Host seolah menjadi 'mantra'bagi para laskar rakyat, dulu. Sajak inilah yang tersimpan salam saku jenazah Subianto, penjuang muda , adik begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, yang gugur bersama 29 laskar muda lainnya pada peristiwa 15 Januari 1946, di Serpong, Tangerang. Inilah pertempuran penuh dendam dan harga diri dengan tentara Jepang yang belum sudi meninggalkan Indonesia, meskipun kami telah merdeka.
Subiyanto dan anak-anak muda yang mengagumkan itu, belumlah masuk fase angkatan yang mesti musnah dan digantikan " angkatan baru". Tetapi, para pejuang muda itu paham kematian bukanlah sesuatu yang mahal untuk sebuah martabat bangsa bernama kemerdekaan. Para syuhada memang kerap merasa "lebih sempurna" dalam makam yang tenang, mungkin kini hanya menjadi cerita para tetua, atau olok-olok belaka.
Martabat bangsa ( human dignity) dan keadilan sosial ( social justice) itulah petuah para empu kearifan (filsuf)  yang menjadi api dan kemudian  membakar rakyat di banyak negeri  untuk mengusir penjajah. Salah satu empu kearifan itu adalah Andre Malraux, filsuf Prancis yang mempesona banyak intelektual Indonesia, salah satunya Sumitro Djojohadikusumo. Pak cum, demikian Sumitro akrab dipanggil, menceritakan ini  pada kami dalam wawancara untuk sebuah buku beberapa tahun sebeum ia wafat. ( Selengkapnya baca buku Jejak perlawanan begawan Pejuang Sumitro Djojohadikusumo,2010). Pikiran Malraux yang menyihir para intelektual dan dikristalkan para nasionalis menjadi " provokasi" yang penuh gelora bagi para pejuang kita.
    Pesona pada Malraux memang menjadi penuh karena  ia tak semata berkhotbah tentang sesuatu yang mengambang. Ia melakukan sesuatu yang berjejak pada bumi yang tengah bergolak. Ia memimpin eskadron angkatan udara yang tangguh dalam perang  Spanyol ( 1936 - 1939 ) dan pasukan bawah tanah melawan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Malraux memang menjadi sosok yang komplit. Serdadu yang berani dan filsuf yang disegani. ( Meski pada Albert Camus dan Sartre tentu punya pesonanya sendiri ).
    Sungguh jelas, tak ada yang putus antara masa silam dan hari ini, kecuali berganti manusia dalam mengelola negara. Tetapi, soal penjuangan untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia, harus terus menjadi prinsip utama negara. Sebuah kemerdekaan tanpa dua prinsip itu, ia akan menjadi omong kosong. Ia akan menjadi negeri yang rapuh.
    Itulah Indonesia hari ini. karena keadilan sosial dan martabat manusia hanya menjadi "alat" dan bukan tekad. Ia seolah diperebotkan tetapi tak dilaksanakan. Ia menjadi prinsip yang teralineasi di hampir seluruh aspek pembangunan kita, sejak lama. Soekarno, Soeharto, dan pemerintahan sesudahnya, justru terlihat  gagap dan kian tak paham kemana arah pengelolaan negara. Sebab, keterbukaan  hanya membawa orang sibuk berkata-kata,tapi tak sampai pada realisasi yang hakiki.
                                                                               ***
SAYA kerap tak sanggup secara mental menyaksikan amuk masa dan konflik sosial bertubi-tubi. Ambilah amuk masa terakhir: amuk priok dan kerusuhan batam. Sungguh amat jelas di sana ada  keadilan dan martabat  manusia yang dipinggirkan.
    Kerusuhan Koja, Priok, jelas ada arogansi negara. Betapa sebuah makam sosok yang dihormati sebagian masyarakat,Mbah Priok, justru hendak digusur untuk perluasan PT Pelabuhan Indonesia ( Pelindo ) II yang nota bene milik negara. Pelindo jadi tampak angkuh dan seolah bisa melakukan untuk menerapkan prinsip kapitalisme: memperoleh laba sebanyak-banyaknya, sayang dengan cara apa saja. Padahal,  tugas negara tak semata mencari laba dengan  mengorbankan hak-hak warganya. Tak ada keadilan di situ!. Sementara itu , kerusuhan  di Batam  yang melibatkan ribuan pekerja galangan kapal PT Drydocks World Graha, adalah bukti, lagi-lagi, buruknya kinerja negara. Ia ironi  yang luar biasa, betapa para pekerja dihina dan dikalahkan justru di negeri sendiri.
     Saya tak menyaksikan amuk masa. Tetapi, lihatlah PT Drydocks, firma dengan sekitar 10 ribu karyawan, tapi hampir 80% dari mereka adalah outsourching, dan hanya 20% pekerja tetap. Outsourching kini memang menjadi tren, karena ia murah dan positioning mereka memang lemah. Tak hanya itu, para pekerja asing yang umumnya  dari India itu, tidak saja tak sepenuhnya punya ketrampilan  khusus, tetapi mereka ada yang kerap menghina pekerja kita.
    Adalah amanat konstitusi bahwa rekreutment pekerja asing hanyalah untuk pos-pos yang khusus, yang bangsa sendiri belum bisa melakukannya. Tetapi PT Drydocks melanggarnya sesuka-suka.Ada banyak tenaga kerja kita lebih terampil dari pekerja india. Tetapi tetap  dibayar dengan upah rendah. Di sini ada pembiaran negara, yakni Kementerian Tenaga Kerja. Dan , kita tahu, institusi ini memang punya reputasi tak sedap dalam melindungi pekerja sendiri. Kekuatan uang  kerap meruntuhkan apa pun kita punya aturan !
     Dalam dua contoh itu saja, ada dua khianat negara terhadap warganya sendiri. Pertama, tak melindungi warganya mendapatkan  keadilan. Kedua, menghina bangsa sendiri. Jika demikian realitanya, para pekerja India berani menghina pekerja kita justru  di negerinya sendiri, sungguh tak heran jika di luar negeri para pekerja kita terus menjadi pecundang.
     Negara mesti bertobat karena beberapa khianat terhadap raknyatnya. Jika tidak, jika keadilan dan martabat manusia tetap jadi omongan, negeri ini akan terus bergemuruh dalam berbagai ekspresi keresahan. Karena dua hal itu adalah hak dasar setiap manusia. Terlebih lagi manusia yang terhimpun dalam wadah bernama negara!***