Mereka yang Dikalahkan ( Di sunting dari Harian Lampung Post 2 Mei 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT

Kami bukan pembina candi
Kami hanya pengangkut batu
Kamilah angkatan yang mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas kuburan kami lebih sempurna
***
SEBAIT sajak karya penyair Henriette Roland Host seolah menjadi 'mantra'bagi para laskar rakyat, dulu. Sajak inilah yang tersimpan salam saku jenazah Subianto, penjuang muda , adik begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, yang gugur bersama 29 laskar muda lainnya pada peristiwa 15 Januari 1946, di Serpong, Tangerang. Inilah pertempuran penuh dendam dan harga diri dengan tentara Jepang yang belum sudi meninggalkan Indonesia, meskipun kami telah merdeka.
Subiyanto dan anak-anak muda yang mengagumkan itu, belumlah masuk fase angkatan yang mesti musnah dan digantikan " angkatan baru". Tetapi, para pejuang muda itu paham kematian bukanlah sesuatu yang mahal untuk sebuah martabat bangsa bernama kemerdekaan. Para syuhada memang kerap merasa "lebih sempurna" dalam makam yang tenang, mungkin kini hanya menjadi cerita para tetua, atau olok-olok belaka.
Martabat bangsa ( human dignity) dan keadilan sosial ( social justice) itulah petuah para empu kearifan (filsuf)  yang menjadi api dan kemudian  membakar rakyat di banyak negeri  untuk mengusir penjajah. Salah satu empu kearifan itu adalah Andre Malraux, filsuf Prancis yang mempesona banyak intelektual Indonesia, salah satunya Sumitro Djojohadikusumo. Pak cum, demikian Sumitro akrab dipanggil, menceritakan ini  pada kami dalam wawancara untuk sebuah buku beberapa tahun sebeum ia wafat. ( Selengkapnya baca buku Jejak perlawanan begawan Pejuang Sumitro Djojohadikusumo,2010). Pikiran Malraux yang menyihir para intelektual dan dikristalkan para nasionalis menjadi " provokasi" yang penuh gelora bagi para pejuang kita.
    Pesona pada Malraux memang menjadi penuh karena  ia tak semata berkhotbah tentang sesuatu yang mengambang. Ia melakukan sesuatu yang berjejak pada bumi yang tengah bergolak. Ia memimpin eskadron angkatan udara yang tangguh dalam perang  Spanyol ( 1936 - 1939 ) dan pasukan bawah tanah melawan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Malraux memang menjadi sosok yang komplit. Serdadu yang berani dan filsuf yang disegani. ( Meski pada Albert Camus dan Sartre tentu punya pesonanya sendiri ).
    Sungguh jelas, tak ada yang putus antara masa silam dan hari ini, kecuali berganti manusia dalam mengelola negara. Tetapi, soal penjuangan untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia, harus terus menjadi prinsip utama negara. Sebuah kemerdekaan tanpa dua prinsip itu, ia akan menjadi omong kosong. Ia akan menjadi negeri yang rapuh.
    Itulah Indonesia hari ini. karena keadilan sosial dan martabat manusia hanya menjadi "alat" dan bukan tekad. Ia seolah diperebotkan tetapi tak dilaksanakan. Ia menjadi prinsip yang teralineasi di hampir seluruh aspek pembangunan kita, sejak lama. Soekarno, Soeharto, dan pemerintahan sesudahnya, justru terlihat  gagap dan kian tak paham kemana arah pengelolaan negara. Sebab, keterbukaan  hanya membawa orang sibuk berkata-kata,tapi tak sampai pada realisasi yang hakiki.
                                                                               ***
SAYA kerap tak sanggup secara mental menyaksikan amuk masa dan konflik sosial bertubi-tubi. Ambilah amuk masa terakhir: amuk priok dan kerusuhan batam. Sungguh amat jelas di sana ada  keadilan dan martabat  manusia yang dipinggirkan.
    Kerusuhan Koja, Priok, jelas ada arogansi negara. Betapa sebuah makam sosok yang dihormati sebagian masyarakat,Mbah Priok, justru hendak digusur untuk perluasan PT Pelabuhan Indonesia ( Pelindo ) II yang nota bene milik negara. Pelindo jadi tampak angkuh dan seolah bisa melakukan untuk menerapkan prinsip kapitalisme: memperoleh laba sebanyak-banyaknya, sayang dengan cara apa saja. Padahal,  tugas negara tak semata mencari laba dengan  mengorbankan hak-hak warganya. Tak ada keadilan di situ!. Sementara itu , kerusuhan  di Batam  yang melibatkan ribuan pekerja galangan kapal PT Drydocks World Graha, adalah bukti, lagi-lagi, buruknya kinerja negara. Ia ironi  yang luar biasa, betapa para pekerja dihina dan dikalahkan justru di negeri sendiri.
     Saya tak menyaksikan amuk masa. Tetapi, lihatlah PT Drydocks, firma dengan sekitar 10 ribu karyawan, tapi hampir 80% dari mereka adalah outsourching, dan hanya 20% pekerja tetap. Outsourching kini memang menjadi tren, karena ia murah dan positioning mereka memang lemah. Tak hanya itu, para pekerja asing yang umumnya  dari India itu, tidak saja tak sepenuhnya punya ketrampilan  khusus, tetapi mereka ada yang kerap menghina pekerja kita.
    Adalah amanat konstitusi bahwa rekreutment pekerja asing hanyalah untuk pos-pos yang khusus, yang bangsa sendiri belum bisa melakukannya. Tetapi PT Drydocks melanggarnya sesuka-suka.Ada banyak tenaga kerja kita lebih terampil dari pekerja india. Tetapi tetap  dibayar dengan upah rendah. Di sini ada pembiaran negara, yakni Kementerian Tenaga Kerja. Dan , kita tahu, institusi ini memang punya reputasi tak sedap dalam melindungi pekerja sendiri. Kekuatan uang  kerap meruntuhkan apa pun kita punya aturan !
     Dalam dua contoh itu saja, ada dua khianat negara terhadap warganya sendiri. Pertama, tak melindungi warganya mendapatkan  keadilan. Kedua, menghina bangsa sendiri. Jika demikian realitanya, para pekerja India berani menghina pekerja kita justru  di negerinya sendiri, sungguh tak heran jika di luar negeri para pekerja kita terus menjadi pecundang.
     Negara mesti bertobat karena beberapa khianat terhadap raknyatnya. Jika tidak, jika keadilan dan martabat manusia tetap jadi omongan, negeri ini akan terus bergemuruh dalam berbagai ekspresi keresahan. Karena dua hal itu adalah hak dasar setiap manusia. Terlebih lagi manusia yang terhimpun dalam wadah bernama negara!***

0 Response to "Mereka yang Dikalahkan ( Di sunting dari Harian Lampung Post 2 Mei 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT"

Posting Komentar

Kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari anda.