Mencari Indonesia ( Disunting dari Harian Lampung Post tanggal 6 Juni 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT)

DALAM sebuah diskusi ringan seorang tokoh  bertanya, " Adakah sesuatu yang membanggakan dari Indonesia?" Beberapa orang ( ada beberapa politisi senayan, pengacara beken, rektor sebuah universitas, dan beberapa wartawan senior ) yang mengelilingi sang tokoh itu, tak satupun menjawabnya. Ia mengulang lagi pertanyaannya, " Adakah  yang membanggakan dari negeri besar ini?" Meski agak malas, saya menjawabnya. " Rakyat itulah  yang membanggakan.
     Tokoh itu diam sebentar dan minta penjelasan jawaban saya. " Bagaimana tidak hebat, dengan pengangguran begitu tinggi, dengan sekitar 35 juta penduduk miskin, dengan pelayanan birokrasi amat buruk, tapi mereka masih patuh pada negara. Keindonesiaan mereka tak luntur. Mereka tetap membayar pajak. Kesabaran Rakyat Indonesia itu luar biasa. Coba kalau pengangguran begitu tinggi terjadi di Eropa, pasti negeri itu guncang!.
    Tokoh itu tak terlalu puas dengan jawaban saya. Tapi, juga tak menolaknya. Saya"menembak"lagi. " Di negara yang masih paternalistik ini tugas pemimpin sesungguhnya tak terlalu berat. Cukup memberi contoh secara konsisten dan sungguh-sungguh, tanpa banyak cingcong, rakyat akan mendukung dan mengikutinya."
     Sang tokoh masih tak puas, Ia geram dengan Indonesia yang bukan menuju proses"menjadi" melainkan "memudar". Dan, soal negeri yang meluruh, memang menjadi omongan publik hampir setiap hari. Simposium Nasional Restorasi Indonesia, yangdigelar di Jakarta selama dua hari ( 1-2 Juni), hanyalah peneguhan dari keprihatinan yang telah membuncah. Para pembicara,orang-orang ternama itu, "menggugat" Indonesia yang telah bersimpang jalan. Indonesia yang telah kehilangan sukma. Mereka berupaya"menemukan kembali"Indonesia yang hilang itu.
     Undang-undang Dasar 1945 yang mulia, yang mengamanatkan ekonomi kerakyatan dan negara mengurus orang-orang miskin dan anak terlantar, jadi omong kosong. Negara sangat tidak berpihak pada orang-orang kecil. Negara sangat berpihak pada pemilik modal dan orang-orang kaya. Negara sungguh amat Zolim kepada orang-orang kecil. Orang-orang miskin seperti dibiarkan termarjinalkan. Ada upaya dengan  sengaja dari Negara untuk melupakan keagungan  Pancasila yang digali  dari kearifan nusantara. Sebab, nilai-nilai ini tak menghendaki para pemilik modal dan penguasa menumpuk  harta sebanyak-banyaknya, tanpa berbagi kepada yang miskin. Periksalah pundi-pundi para politisi kita. Ada yang baru beberapa tahun menjadi pejabat negara,kekayaannya menggelembung jadi berpuluh-puluh milyar rupiah.
     Keagungan Indonesia memang seperti tengah "dipreteli" satu per satu. Justru oleh para penyelenggara negara, yang notabene disumpah-juga dibayar negara-untuk menjaga Indonesia. Indonesia yang sakit ini tak kunjung ada  upaya untuk menyembuhkannya.
     MARI kita lihat lagi "pusaka"kita yang sengaja dicampakkan. Salah satunya Trisakti,tiga butir ajaran bung Karno, yang mestinya jadi pegangan hari ini, yakni berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Politik kita kian keruh dan banal. Ekonomi kita sangat tergantung pada asing.
    Kepribadiankita juga nyaris compang-camping. Kita menjadi bangsa yang mudah meniru. Kita bangsa yang sudah lama mengalami  senomania dan menderita kompleks inverioritas.
     Kegandrungan pada asing sudah sangat keterlaluan karena tak paham keunggulan diri sendiri. Tak ada kodifikasi sejarah pemikiran dan benda budaya dari seluruh nusantara. Museum-museum kita umumnya miskin koleksi dan merana.
     Kita baru teriak setelah bangsa lain berupaya mengambilnya. Kita hanya teriak tetapi tak memeliharanya. Indonesia dengan berkah keragaman kultur dan hayati, dibiarkan tak terurus. Ia belum dimaksimalkan sebagai sumber penciptaan ekonomi kreatif yang menjadi tren global. Kekayaan batik baru-baru ini saja menjadi kesadaran barsama ( dipakai setiap jumat di berbagai instansi) setelah UNESCO menjadikannya warisan dunia. Dalam soal busana, Malaysia malah lebih "berkepribadian" daripada kita, yang terkesan"suka-suka".
     Benarkah Indonesia telah'hilang'? Banyak orang bilang Indonesia  tengah dihancurkan, dipisahkan dari roh dan kepribadian yang  sesungguhnya. Indonesia hari ini seperti Indonesia  yang berbeda, yang bergerak tanpa arah, yang tercerabut dari akarnya.
     "Para pengambil keputusanpun terus membuat kebijakan publik tanpa mempertimbangkan karakteristik sosial-ekologis-geografis Nusantara, sehingga terjadi krisis sosial-ekologis. Kaum intelektual terus mengimpor mentah-mentah pengetahuan dari utara untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, tanpa menyesuaikannya dengan karakteristik Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan ," kata Budiman Sudjatmiko pada simposium itu.
     Indonesia dengan birokrasi terburuk di Asia, dengan pendidikan yang amburadul dan mencekik,yang tak menjadikan kejujuran sebagai nilai utama, diperparah dengan guru-guru yang tidak mengasah diri agar bisa memberi motivasi. Para pakar pendidikan yang pernah ikut  memberikan sumbangsih pemikiran , seperti Conny R.Semiawan dan Soediarto, bingung dengan dunia edukasi hari ini. Pendidik sudah sangat kehilangan  orientasi dan guru-guru tak lagi menjadi sumber inspirasi.
     Saya tak akan menyalahkan reformasi yang telah memakan banyak korban.Reformasi tak terelakkan karena rezim orde baru memang sudah amat busuk dan tak mungkin dibiarkan. Saya kecewa karena reformasi telah dibajak oleh pengambil keuntungan, yang menurut pembicara lain dalam simposium itu, Syafi'iMaarif, bermental lele. " Semakin keruh, semakin banyak makannya"
     Inilah "era sampah" Sebuah era yang tak bisa dihindari. Sesuatu yang kerap terjadi  selama beberapa tahun setelah rezim otoriter tumbang. Pertanyaannya, sampai kapan era sampah yang busuk ini selesai? Adakah kita cukup sabar dan punya energi menanti era yang lebih berpengharapan? Kita harus menguat-nguatkan diri.****

0 Response to "Mencari Indonesia ( Disunting dari Harian Lampung Post tanggal 6 Juni 2010 Rubrik REFLEKSI Oleh DJADJAT SUDRADJAT)"

Posting Komentar

Kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari anda.