Masih Perlukah Sistem Ujian Nasional Dipertahankan?

 

Pemerintah telah menetapkan untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) bagi satuan pendidikan dasar dan menengah pada tahun pelajaran 2011/2012 ini. Bahkan Kementerian Nasional telah menetapkan sistem penyelenggaraan UN sama dengan tahun lalu, termasuk pembobotan nilai kelulusannya. Perubahan akan dilakukan hanya pada upaya untuk meniadakan atau meminimalisir kecurangan dalam manajemen penyelenggarannya, seperti yang terjadi pada  penyelanggaraan UN tahun pelajaran 2010/2011.
Kebijakan pemerintah ini, sebagai mana tahun-tahun sebelumnya, telah melahirkan pro kontra dengan berbagai sudut pandang. Pihak yang pro, pada dasarnya memandang UN sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sementara yang kontra, pada intinya menganggap UN merupakan kebijakan yang kredibilitasnya masih diragukan dan mempersoalkan fungsinya sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik.
Ketidaksamaan pandangan dalam melihat penyelenggaraan UN sebagai alat ukur (penilaian) pendidikan tersebut, menyebabkan kita terlibat terus untuk mempersoalkan dan mengkajinya lebih jauh dan mendalam lagi. Kajian tersebut akan akan menjawab permasalahan masih pentingkah sistem penyelenggaraan UN dipertahankan ?
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur tentang evaluasi untuk peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian tersebut kemudian diperjelas lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam PP dan Permendiknas itu, ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah. UN merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. Bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggarannya dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Penyelenggaraan UN dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan UN yang selalu menjadi fokus pembicaraan yang melahirkan pro kontra adalah terletak pada penyelenggaraannya yang belum sesuai dengan apa yang diamatkan oleh peraturan tertulis tersebut, yang harus diselenggarakan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Selain itu, isi PP dan Permendiknas yang selalu mendapat sorotan tajam dari masyarakat adalah adanya ketentuan yang mengatur bahwa hasil UN merupakan penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
Obyektifitas penyelenggaraan UN diragukan mengingat masih terjadinya kasus kebocoran dokumen soal UN. Menjelang pelaksanaan UN, banyak bertiup isu bahwa ada soal UN yang telah beredar. Kunci jawaban juga banyak beredar melalui pesan singkat (SMS). Bahkan tragisnya lagi, ada kasus pemberian kunci jawaban kepada peserta didik atas inisiatif guru atau sekolahnya. Di beberapa daerah kasus semacam itu telah terbukti secara hukum. Sedangkan yang tidak terungkap, disadari atau tidak, masih lebih banyak lagi. Mengingat akan hal itu, maka hasil UN tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan sebagai hasil perbuatan yang jujur. Ketidakjujuran tersebut timbul dari adanya rasa takut dan tekanan. Pengelola sekolah dan guru, takut kepada masyarakat kalau banyak siswa yang tidak lulus, serta takut akibat yang akan diterima dari pemerintah daerah kalau hasil UN jelek dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah daerah secara langsung, maupun tidak langsung telah memberikan tekanan agar penyelenggaraan UN sesuai dengan garis kebijakannya. Tekanan (intervensi) politis ini menyebabkan pelaksanaan UN di satuan pendidikan tidak sesuai dengan rambu-rambu (pedoman) yang telah ditetapkan. Mencari keselamatan diri dan kelompok menjadi pilihan, dengan cara yang tidak sesuai aturan baku.
Kenyataan seperti diatas menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN belum mencerminkan prinsip keadilan. Ketidakadilan tersebut juga terlihat dari adanya persamaan soal UN untuk semua sekolah. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat satuan-satuan pendidikan di setiap wailayah, kota sampai desa tidak memiliki sarana fisik yang sama, dan kualitas tenaga pendidikan yang berbeda. Di kota-kota pada umumnya satuan pendidikan memiliki fasilitas pendukung yang lengkap dan tenaga guru dengan kualitas yang baik melimpah. Sementara satuan pendidikan di pelosok-pelosok kondisi fasilitas dan tenaga pendidiknya kekurangan. Bahkan ada sekolah yang kondisinya teramat parah dan memperihatinkan, sehingga mati enggan hidup pun tak mau. Fakta ini apabila disamakan dalam pelaksanaan UN, maka keadilan itu tidak pernah ada.
Dengan munculnya kasus-kasus kebocoran dokumen UN, serta tidak meratanya falisitas dan tenaga pendidik untuk semua satuan pendidikan, maka akuntabelitas penyelenggaraan UN patut dipertanyakan. Alangkah tidak ironisnya nilai UN peserta didik yang ada di kota lebih rendah dengan yang ada di pelosok pedesaan. Alangkah lucunya satuan pendidikan yang proses pembelajarannya Senin Kamis (tidak efektif) mendapatkan peringkat sepuluh besar hasil UN, dari pada sekolah yang proses pembelajarannya tidak diragukan. Hasil UN menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, apabila kita melihat kenyataan bahwa lulusan dari satuan pendidikan yang memperoleh nilai UN rata-rata tinggi dan mampu meluluskan 100 % tidak bisa diterima di sekolah-sekolah favorit atau tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi. Keraguan ini bisa juga timbul dari cara pembobotan nilai kelulusan peserta didik, yang ditetapkan dengan rasio 60 % UN dan 40 % Ujian Sekolah (US). Ini akan mendorong terjadinya manipulasi nilai peserta didik, sehingga yang bodoh pun bisa lulus. Dengan cara ini, satuan pendidikan bisa jadi akan menaikkan kreteria ketuntasan minimal (KKM) secara serampangan, tanpa didasarkan pada kenyataan yang ada di satuan pendidikan.
Kredibilitas penyelenggaraan UN menjadi diragukan, bisa dikaji lagi dari kebijakan yang memposisikan hasil UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Ini menjadi momok yang menakutkan bagi peserta didik, sekolah dan pemerintah daerah. Kekhawatiran untuk tidak lulus, mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku. Seharusnya hasil UN tidak ikut menentukan kelulusan peserta didik, tetapi dijadikan sebagai alat untuk melihat, memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Mengingat pula bahwa yang paling mengetahui keadaan siswa, baik prestasi maupun kepribadiannya adalah guru-guru yang ada di setiap satuan pendidikan. Seharusnya guru dan satuan pendidikan diberikan hak penuh untuk menentukan kelulusan sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sistem penyelenggaraan UN yang sekarang perlu dievaluasi secara menyeluruh, dan bila perlu diganti dengan sistem yang lain, misalnya kembali menggunakan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) di era tahun 1980-an dan 1990-an.  Kita belum terlambat untuk merubah kebijakan yang telah ditetapkan, mengingat penyelenggaraan UN masih cukup panjang.  Perlu kita ingat kembali, bahwa pada saat pemberlakuan sistem EBTANAS, tidak pernah seheboh seperti sistem penyelenggaraan UN dewasa ini. Sistem lama ini tidak mengebiri hak-hak guru dan sekolah, mereka diberikan hak yang besar untuk menyelenggarakannya, hak penuh dalam mengoreksi hasilnya, dan memiliki hak penuh pula dalam menentukan kelulusan peserta didik, berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. Sedangkan hasil EBTANAS yang murni tidak dijadikan penentu kelulusan, tetapi dijadikan sebagai syarat untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi lebih obyektif, berkeadilaan dan akuntabel.
(Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/27/masih-perlukah-sistem-ujian-nasional-dipertahankan/)

0 Response to " "

Posting Komentar

Kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari anda.